Suku Baduy- Urang Kanekes



Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo

Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Orang Kanekes (Suku Badui) memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda.

Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka.
Orang Kanekes (Suku Badui) menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.

Masyarakat Kanekes (Suku Badui) secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
  • Tangtu
  • Panamping, dan 
  • Dangka.

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes (Suku Badui) Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung:
  • Cibeo
  • Cikertawana
  • Cikeusik. 

Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes (Suku Badui).
Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam (Suku Badui dalam ) masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam (Suku Badui dalam ) antara lain:

  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. 

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar ((Suku Badui Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti :

  • Cikadu
  • Kaduketuk
  • Kadukolot
  • Gajeboh, 
  • Cisagu, dan lain sebagainya. 
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam.
Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar.
  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam (Suku Badui dalam ).
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam (Suku Badui dalam)
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar (Suku Badui Luar)
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar (Suku Badui Luar) telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam (Suku Badui dalam )
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. 
  • Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam  (Suku Badui dalam ).
  • Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Apabila Kanekes Dalam  (Suku Badui dalam ) dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu :
  • Padawaras (Cibengkung) dan 
  • Sirahdayeuh (Cihandam). 
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes  (Suku Badui) berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.

Masyarakat Kanekes  (Suku Badui )dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.

Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.
Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai

Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.

Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut.

Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes  (Suku Badui) sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Orang Kanekes  (Suku Badui) sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.

Menurut Danasasmita dan Djatisunda orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha.

Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati).
Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Kepercayaan masyarakat Kanekes (Suku Badui)yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme).

Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.

Sumber : wikipedia.org

Untuk mendapatan Paket-paket wisata Budaya Suku Badu di Banten bisa menghubungi Agen Biro Parawisata yang ada di Banten,

Agen Biro Parawisata yang Ada di Pusat Pemerintahan Banten - Kota Serang yakni :
Flonova Tour www.Flonova.Net 
(Call/WA: 082125432398)
========================================================================
Wisata Banten, Wisata Religi, Wisata Budaya Baduy, Pantai Anyer, Tanjung Lesung, Ujung Kulon, Gunung Krakatau, Wisata Kuliner. Parawisata Banten, Parawisata Serang Banten, Parawisata Pandeglang Banten, Parawisata Lebak Banten, Wisata Alam Banten